dengarkan musik



Selasa, 24 Januari 2017

Surat untuk mama

Ma, entah mengapa aku menuliskan ini. Aku tahu mama mungkin tak akan pernah membacanya. Kalaupun mama membacanya, aku tak yakin mama akan bisa memahaminya. Entahlah, aku ingin saja. Ada desakan dari dalam. Keinginan, itu saja. Bukankah sesuatu kita lakukan tak perlu selalu ada penjelasannya. Iya kan ma?

Ma, saat ini aku terpuruk. Aku merasa bersalah sekali, berdosa. Merasa bukanlah apa-apa, atau siapa-siapa. Aku remuk ma. Dan entahlah, mengapa di saat seperti itu aku akan selalu ingat kau ma. Aku rindu sosokmu. Selalu saja, selalu begitu. Selalu jika aku mengigatmu, aku tak kuasa untuk tidak menangis ma. Sampai saat ini aku belum bisa memberi sesuatu untuk mama, aku belum bisa menjadi sesuatu (meski kau tak pernah minta sesuatu dariku ma).

Ma, waktu semakin berjalan. Entah sudah berapa umur mama.  Mama semakin menua, tapi mama tak pernah mau berhenti menjadi mama. Menjadi mama adalah karunia terbesar yang diberikan Allah , mungkin itu pikiranmu ma. Akunkini semua beranjak dewasa ma. Dan aku, telah menginjak semester kedelapan perkuliahan. Do’akan ya ma, do’akan ini semester terakhir anakmu ini. Do’akan semoga dengan itu anakmu ini bisa lebih bermanfaat.

Ma, aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin kau tersenyum di hari wisudaku, menatap bangga anakmu memakai toga kebesaran. Dan mama menciumku, menggumamakan sesuatu, yang pasti do’a ,yang kutahu tak pernah lupa untuk mama panjatkan.

Ma, aku tak ingin menangis. Tapi entah mengapa aku menangis menuliskan ini. Apakah karena aku belum bisa memberi yang terbaik buat mama. ma, aku cinta mama, aku cinta mama karena Allah. Tahukah mama, itu kalimat siapa? Itu adalah kalimat Delisa yang ia ucapakan pada ummi dan abinya. Ah, mama tak akan tahu siapa delisa itu. Dia anak-anak yang masin berusia 6 tahun ma. Ia hanyalah tokoh rekaan dalam sebuah novel (mama tahu novel tidak?). Tapi mengapa ia terasa begitu nyata bagiku, ia terasa hidup, ia seolah anakku, seolah adikku, dan seolah diriku sendiri. Saat itu ma, aku tak kuasa untuk tak menangis saat membacanya. Aku ingat mama, betapa dulu aku tak terpikirkan mengucapkan kalimat seindah itu pada mama. Saat aku seusia Delisa.

Ma, bagaimana kabar mama sekarang, di saat aku jauh dari mama aku justru selalu ingat mama. Mungkin ini semua wajar, tapi tidak bagiku, ah akan sangat sulit menjelaskannya ma.

Ma, kadang aku rindu masa kecilku . Aku rindu saat mama mengangkatku tinggi tiap kali mama selesai memandikanku. Aku rindu saat mama mengajakku bepergian, di sebuah angkutan umum, mama begitu bangganya bercerita tentang aku pada penumpang. Ya memang tiap kali di angkutan umum bersama mama, banyak penumpang yang sering tanya tentang aku.  Mama tak pernah berkeberatan apabila ada orang yang belum begitu mama kenal memegangiku.

Ma, menjadi dewasa adalah menjadi seseorang yang harus berani bertanggung jawab. Dulu sewaktu kecil aku selalu meminta pembenaran dari mama tiap kali melakukan sesuatu yang tidak biasa. masih ingatkah mama, dulu tiap kali aku ingin membatalkan puasa (setelah bandel di siang bolong ramadhan bermain dan berlarian bersama teman-teman yang membuatku kehausan) aku selalu meminta pertimbangan mama. Lama waktu itu aku merajuk, sampai akhirnya mama luluh dan berkata : ya sudahlah. Aku tak pernah berani untuk sembunyi-sembunyi membatalkan puasaku, karena mama tak pernah mengajarkan seperti itu . Dan sekarang ma, aku harus memutuskan sendiri tindakanku. Lalu akupun harus mempertanggungjawabkan sendiri tindakanku itu. Sekarang aku harus bisa menjaga diriku sendiri ma. Berat, berat sekali ma. Aku harus bisa menopang kedua kakiku agar tidak tergelincir, menjaga mulutku agar tidak kebablasan. Menjaga semuanya ma. Aku membayangkan betapah susahnya mama merawatku selama.ini.

Tapi mama tak pernah mengeluh. Mama menerima semua penyakit yang diberikan Allah itu dengan (ah sekali lagi) senyuman. Bahwa itu ujian Allah. Mama tak pernah menyerah, itu bukanlah sebuah alasan untuk mama menghentikan aktifitas mama (walaupun mama semain kesulitan berjalan). Tak ada yang bisa menghentikan mama.

Aku takut ma, aku takut saat itu tak dapat kutemui. Aku takut aku belum sempat membahagiakan mama. Aku takut mama tak sempat menikmati buah dari perjuangan mama itu. Aku tahu ma, ketakutanku tak beralasan sekali. Karena mungkin aku bisa saja mendahului mama, tapi tetap saja ma, ketakutan itu, ketakutan melihat kerut diwajah mama yang kian rata dan kemarin, ketakutan melihat langkah mama yang semakin terhuyung-huyung digerogoti rematik. Aku takut ma.

Ma, apa yang mama lakukan sekarang. Sudahkah mama istirahat, sudahkah mama sejenak . Tiap kali kau merebahkan badan, ada saja yang menganggumu (termasuk aku), menanyakan hal-hal kecil, mengadu hal-hal kecil, meminta pertimbangan-pertimbangan. Kau memang muara segala hal ma. Semuanya akan menjadi ringan bila dilaporkan padamu. Kau selalu menenangkan . Entahlah, mungkin itu senjata yang diberikan Allah pada semua mama di muka bumi. Kau tak perlu banyak berkata-kata, kau cukup memandang, dengan wajah teduhmu, dan subhanallah, semuanya terasa ringan kembali. Semuanya seolah bukanlah beban. Semua itu ma, semuanya, membuat aku bertambah sayang pada mama. Aku mencintaimu ma, walau itu tak pernah terucap. Sama halnya kau tak pernah mengucap kata cinta pada anakmu , tapi aku tahu kau mencintaiku ma. Kecintaanmu bahkan tak terwakili oleh kata cinta itu sendiri.

Akhirnya hanya itu yang mungkin bisa kuberikan ma. Semuanya menguap. Aku tergugu. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Terlalu banyak kasih sayangmu yang coba aku ceritakan. Terlalu beragam senyummu yang coba aku terjemahkan. Semuanya terlalu sesak. Tak akan muat dalam lembaran kertas.

Maafkan anakmu ini ma, karena bahkan sampai sebesar ini masih sering merepotkanmu.

Dan jika waktu bisa berputar ke belakang, sungguh ma, aku ingin kembali terlahir dari rahimmu.